Jakarta, CNN Indonesia —
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengklaim 70 persen RS anggotanya siap menerapkan kelas rawat inap standar (KRIS) bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.
Ketua Umum ARSSI Iing Ichsan Hanafi mengatakan memang ada tantangan dalam pemberlakuan kelas standar tersebut. Terlebih, pihak RS swasta sempat meminta penundaan KRIS sejak 2022 silam, selepas pandemi covid-19.
“Saya tidak bisa melihat kuantitatif, tapi secara kalau kita pertemuan-pertemuan, saya kira lebih dari 70 persen (RS swasta anggota ARSSI) itu sudah siap,” ucap Iing kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/5).
“Tentu teman-teman (RS swasta) saya kira sudah relatif siap kalau KRIS ini diberlakukan. Karena saat credentialing dengan BPJS pun, terkait dengan 12 kriteria yang ada di KRIS itu, teman-teman RS sudah mempersiapkan,” sambungnya.
Meski begitu, Iing mengatakan ada sejumlah tantangan yang mereka hadapi. Salah satu yang menjadi sorotan adalah biaya atau nilai investasi untuk mengejar pemenuhan 12 kriteria KRIS.
Iing memang tak menyebut berapa banyak nominal yang harus dikeluarkan RS, akan tetapi ia menegaskan jumlahnya cukup besar.
“Untuk biayanya akan cukup besar untuk perubahan 12 kriteria itu. Memang ini sudah dicicil pelan-pelan. Risiko dari aspek biaya akan ada, biaya investasi,” tuturnya.
Selain itu, ia menyoroti soal kejelasan tarif usai adanya KRIS. Pasalnya, tarif rawat inap selama ini mengacu kelas BPJS Kesehatan yang digunakan pasien, apakah 1, 2, atau 3.
ARSSI ingin pemerintah dan stakeholder terkait serius menyosialisasikan penerapan kelas standar. Ia berharap nantinya tarif KRIS ditetapkan sesuai dengan kelas 1 BPJS Kesehatan.
“Kemampuan RS kan berbeda-beda. Ini perlu waktu untuk mempersiapkan, walaupun memang sudah lebih banyak yang siap,” ucapnya.
“Ini perlu sosialisasi kepada para peserta BPJS supaya mereka juga mengerti apa yang dimaksud dengan kelas standar ini,” tandas Iing.
Penerapan kelas standar diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo pada Rabu (8/5).
Pasal 103B ayat 1 beleid tersebut menegaskan penerapan KRIS paling lambat 30 Juni 2025. Sedangkan soal penetapan manfaat, tarif, dan iuran bakal diatur paling telat 1 Juli 2025 mendatang.
Implementasi KRIS tidak menghapus kelas 1, 2, atau 3 dari BPJS Kesehatan. Hanya ada standardisasi baru yang harus dipenuhi pihak rumah sakit, yakni 12 kriteria berikut:
1. Komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi
2. Ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 (enam) kali pergantian udara per jam
3. Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur
4. Kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 (dua) kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur
5. Adanya nakas per tempat tidur
6. Dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat celcius
7. Ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi)
8. Kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 (empat) tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter
9. Tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung
10. Kamar mandi dalam ruang rawat inap
11. Kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas
12. Outlet oksigen.
(skt/pta)