Jakarta, CNN Indonesia

Li Ka-shing dipuja sebagai salah satu pengusaha paling berpengaruh di Asia. Siapa sangka, dulunya ia imigran korban perang, buruh pabrik plastik, yang bahkan putus sekolah karena miskin.

Kini, bisnisnya menggurita di berbagai sektor mulai dari real estate, telekomunikasi, layanan pelabuhan, ritel, energi, dan infrastruktur.

Setiap kali Li berbicara tentang investasi maupun hal lain di luar bisnis, pernyataannya selalu menjadi sorotan para pejabat Hong Kong, bos perusahaan maupun investor.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maklum saja, dengan kekuatan finansial dan koneksinya yang kuat di China daratan, para pembuat kebijakan itu harus mendengarkan.

Pada Mei 2024, Forbes mencatat kekayaannya mencapai US$37,2 miliar atau setara Rp594 triliun (kurs Rp15.960 per dolar AS).

Pundi kekayaannya berasal dari CK Hutchison Holdings. Konglomerasi bisnis miliknya ini memiliki sekitar 300 ribu karyawan dan beroperasi di lebih dari 50 negara.

Selain itu, Li juga punya saham di beberapa perusahaan raksasa. Ia piawai dalam memilih saham cuan. Penciumannya juga tajam dalam hal akuisisi perusahaan anyar yang potensial berkembang.

Dengan kekayaan yang dimiliki, ia dinobatkan sebagai orang terkaya nomor 38 di dunia pada 2024, serta orang terkaya Hong Kong pada 2024 versi majalah Forbes.

Semua harta itu ia usahakan sendiri, bukan hasil warisan. Sebab, Li terlahir di keluarga miskin. Gara-gara kondisi itu pula Li putus sekolah ketika usianya 15 tahun. Ia tak lulus sekolah menengah lantaran keluarganya tak sanggup membiayai pendidikannya.

Karena tak sekolah dan miskin, Li terpaksa bekerja sejak kecil. Kerjanya serabutan. Saat usianya menginjak 15 tahun, ayah Li meninggal karena penyakit TBC. Remaja ini pun harus menjadi tulang punggung keluarga usai sang ayah wafat.

Kondisi finansial keluarga yang miskin diperparah dengan konflik di negaranya. Kala itu, China dilanda perang saudara. Karenanya, Li memilih hijrah ke Hong Kong untuk mengadu nasib demi kehidupan yang lebih baik.

Li tinggal di rumah salah satu pamannya yang kaya. Namun, di sana ia tak diperlakukan cukup baik. Akhirnya, Li memutuskan hidup mandiri.

Saat usia 16 tahun, ia mendapat pekerjaan di pabrik plastik sebagai buruh. Li remaja bekerja 16 jam per hari. Nyaris seluruh gajinya ia berikan kepada ibunya.

Setelah beberapa tahun bekerja sebagai buruh, Li nekat keluar dan mendirikan usaha plastik miliknya.

Mengelola bisnis plastik bukan perkara baru baginya. Pengalaman selama bertahun-tahun jadi buruh pabrik plastik memberinya banyak pelajaran.

Namun, ia kepentok modal. Tak menyerah, Li pinjam duit dari saudaranya US$6.500 untuk modal usaha. Pada 1950, ia pun memulai bisnis plastik bernama Cheung Kong. Usianya masih 21 tahun kala itu.

Bisnis bikin plastiknya berkembang cepat. Sebab, Li memproduksi plastik berkualitas terbaik dengan harga murah.

Salah satu pelanggannya adalah produsen mainan asal Amerika Serikat, Hasbro. Hasbro memesan dibuatkan boneka GI Joe untuk diekspor ke Paman Sam.

Usai sukses berbisnis plastik, Li merambah sektor real estate pada 1971 berbarengan dengan perubahan nama perusahaan menjadi Cheung Kong Holdings.

Bisnis ini pun lagi-lagi maju. Lalu, 8 tahun kemudian. Ia melalui Group Cheung Kong, mengakuisisi perusahaan Hutchison Whampoa Limited dari HSBC.

Hutchison Whampoa Ltd (HWL) adalah perusahaan induk investasi. Kegiatan operasional perusahaan terdiri dari lima bisnis: pelabuhan dan jasa terkait; properti dan hotel; ritel; energi dan pembiayaan infrastruktur dan investasi pilihan lain; dan telekomunikasi.

HWL adalah operator terminal peti kemas yang mempunyai kepentingan di 49 pelabuhan di 25 negara, termasuk terminal peti kemas.

Perusahaan ini menjadi operator pelabuhan independen terbesar di dunia yang bisnisnya beroperasi di Hong Kong, China, Inggris, Panama, Bahama, Rotterdam, bahkan Indonesia.

Di Indonesia, ada juga bisnis Li. Hutchison Ports, anak usaha CK Hutschison, bekerja sama dengan bermitra PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) dalam membangun Jakarta International Container Terminal (JICT). JICT ini mengelola terminal peti kemas di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pada 2015, Li me-reorganisasi besar-besaran bisnis Grup Cheung Kong. Konglomerasi bisnis inipun berganti nama menjadi CK Hutchison Holdings.

Tak cuma mengakuisisi, strategi bisnis Li juga menjual usaha-usahanya yang sudah maju. Misalnya, Li menjual sebagian kepemilikan saham di Hutchison Whampoa kepada Orange Mannesman Group. Dari aksi itu, ia untuk US$15 miliar.

Li juga cuan banyak berkat penjualan sebagian aset Hutchison Telecomunication pada Vodafone. Ia mengantongi profit US$11 miliar dari proses itu.

Di sektor teknolgi, Li juga berinvestasi di Facebook. Horizons Ventures, perusahaan modal ventura miliknya memiliki 0,8 persen saham di raksasa jejaring sosial itu.

Lanjut ke halaman berikutnya…







Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *