Jakarta, CNN Indonesia —
China gagal memenuhi komitmen pendanaan (utang) program Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt Road Initiative/ BRI) untuk Asia Tenggara.
Beijing hanya menebar utang US$29,6 miliar atau Rp469,8 triliun (Kurs Rp15.873 per dolar AS) pada 2015 hingga 2021. Jumlah tersebut kurang dari US$54,7 miliar dari komitmen yang dijanjikan sebesar US$84,3 miliar.
Hal itu terjadi karena proyek skala besar di bawah program BRI tersendat karena berbagai alasan, mulai dari ketidakstabilan politik hingga transisi energi global.
“Alasan kesenjangan ini mencakup fokus China yang hampir eksklusif pada pendanaan mega-proyek ambisius yang sangat rentan terhadap masalah dan penundaan, namun juga ketidakstabilan politik di negara-negara mitra, lemahnya konsultasi dengan pemangku kepentingan, dan semakin banyak proyek bahan bakar fosil yang terbengkalai,” bunyi laporan Sydney Lowy Institute, dikutip Bloomberg, Rabu (27/3).
Meskipun pencairan dana tersebut jauh di bawah US$84,3 miliar yang dijanjikan, China tetap menjadi mitra utama pembiayaan infrastruktur di Asia Tenggara. Dana yang dikucurkan China lebih besar dibanding Jepang sebesar US$16,4 miliar dan Asian Development Bank (ADB) sebesar US$7,4 miliar.
Secara keseluruhan, China terlibat dalam 24 dari 34 komitmen mega proyek di Asia Tenggara yang masing-masing menelan biaya sekitar US$1 miliar. Sebanyak 14 proyek berada di bidang pembangkitan atau transmisi energi dan sisanya berkaitan dengan sektor transportasi.
Namun beberapa proyek dibatalkan, termasuk lima proyek pada 2022 yang senilai US$21 miliar. Proyek itu seperti kereta api di Thailand dan Filipina, dan jaringan pipa gas di Malaysia.
Sydney Lowy Institute mengatakan proyek di Malaysia adalah contoh di mana pengaturan keuangan dengan China menjadi kontroversial secara politik, yang menyebabkan penangguhan atau negosiasi ulang setiap kali pergantian pemerintahan.
“Kereta Kecepatan Tinggi Thailand-China adalah contoh lain dari politik dalam negeri yang mendatangkan malapetaka pada ambisi infrastruktur China,” bunyi laporan tersebut.
Namun ada juga sejumlah mega proyek BRI yang telah selesai. Misalnya pipa minyak senilai US$24 miliar di Myanmar yang mulai beroperasi pada 2017. Kemudian proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Indonesia.
Laporan tersebut mencatat bahwa China belajar dari pengalaman, dan beralih ke program yang lebih kecil dan meningkatkan fokusnya pada manajemen risiko, persiapan proyek, uji tuntas keuangan, serta standar lingkungan dan sosial yang lebih tinggi.
Partai Komunis Tiongkok, sambung laporan tersebut, tampak berniat untuk mempertahankan BRI yang tahan lama dan responsif terhadap perubahan keadaan dan tuntutan negara-negara mitranya.
“Suntikan pendanaan baru dan komitmen terhadap reformasi kebijakan merupakan indikasi bahwa BRI akan tetap bertahan,” kata mereka.
Program BRI China diciptakan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2013 untuk berinvestasi di lebih dari 130 negara dan organisasi internasional.
Sejak dijalankan, inisiatif ini telah menghasilkan miliaran dolar yang dituangkan ke dalam proyek infrastruktur. Namun, kritikus melihat BRI sebagai cara China untuk menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia melalui jeratan utang.
(fby/agt)